Ibnu Qayyim Al-Jauziyah bertutur: ”Jika manusia tahu bahwa kematian mengehentikannya dalam beraktivitas, maka ia pasti akan melakukan perbuatan dalam hidupnya yang pahalanya terus mengalir setelah mati.” semoga catatan ini menjadi salah satunya ... bismillah by: www.familyonline-shop.com

Rabu, 20 Februari 2013

ASI ekslusif selama dua tahun dalam ajaran islam

Beberapa pemikiran mengenai ASI eksklusif dalam pandangan Islam tersebar di dunia maya. Salah satunya menyatakan bahwa dalam ajaran Islam ASI eksklusif hukumnya WAJIB atau SUNNAH dilakukan, bahkan ada yang berpendapat bahwa ASI eksklusif itu selama dua tahun penuh dan tidak disapih atau diberi makanan yang lain. Hal ini kurang tepat dan perlu kita luruskan bersama karena membawa-bawa nama agama Islam atau menisbatkannya sebagai ajaran Islam. Berikut pembahasannya.

ASI eksklusif di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ASI eksklusif sudah dikenal di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,  kita mengetahuinya dari penelitian dan kesimpulan yang luar biasa para ulama terhadap beberapa hadits.
Perlu dijelaskan sebelumnya bahwa ada permaslahan fiqh mengenai cara bersuci dari najis berupa air kencing bayi laki-laki dan bayi wanita yang belum memakan apapun selain ASI (ASI Ekslusif). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ، ويُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الغُلامِ
“Kencing bayi perempuan dicuci (dibilas) dan kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan saja dengan air.”[1]
Adapun jika bayi laki-laki sudah makan makanan yang lain selain asi (disapih) maka status kencingnya sama seperti kencing orang dewasa yaitu cara bersucinya dengan dicuci atau dibilas.

Kemudian ada beberapa terdapat hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menerapkan hal ini, artinya beliau mengetahui bahwa bayi laki-laki yang mengencingi pakaian beliau adalah bayi yang belum disapih atau masih minum ASI eksklusif, maka beliau sekedar memercikkan.
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالصِّبْيَانِ فَيُبَرِّكُ عَلَيْهِمْ وَيُحَنِّكُهُمْ فَأُتِيَ بِصَبِيٍّ [يَرْضَعُ] فَبَالَ عَلَيْهِ (وَفِيْ رِوَيَةٍ : فَبَالَ فِي حَِجْرِهِ) (وَفِيْ رِوَيَةٍ : فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ) فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ بَوْلَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ *
Dari ‘Aisyah isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ia berkata): “Bahwasanya pernah dibawa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa anak laki-laki, kemudian Beliau mendo’akan keberkahan atas mereka dan mentahnik mereka. Lalu dibawa kepada Beliau seorang anak laki-laki yang masih menyusu, lalu anak itu mengencingi Beliau.” Dalam riwayat yang lain: Lalu anak itu kencing di pangkuan Beliau. Dalam riwayat yang lain: Lalu anak itu mengencingi pakaian Beliau. Kemudian Beliau meminta air, lalu Beliau memercikkan kencing bayi laki-laki itu dan Beliau tidak mencucinya.[2]
عَنْ لُبَابَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ قَالَتْ كَانَ الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ فِيْ حَِجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَالَ عَلَيْهِ فَقُلْتُ الْبَسْ ثَوْبًا وَأَعْطِنِيْ إِزَارَكَ حَتَّى أَغْسِلَهُ قَالَ : ((إِنَّمَا يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اْلأُنْثَى وَيُنْضَحُ مِنْ بَوْلِ الذَّكَرِ)). رواه أبو داود وابن ماجة وأحمد وغيرهم .
Dari Lubabah binti Harits, ia berkata: Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma pernah berada di pangkuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia mengencingi Beliau, maka aku berkata (kepada Beliau): “Pakailah pakaian yang lain, dan berikanlah kainmu kepadaku agar aku dapat mencucinya.” Beliau bersabda: “Yang dicuci itu hanya kencing anak perempuan, sedangkan kencing anak laki-laki (cukup) dipercikkan.[3]
Jadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu bahwa bayi tersebut masih ASI eksklusif

Penetapan (Taqrir) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Terdapat istilah penetapan/pengakuan (taqrir) dalam ilmu ushul fiqh. yaitu Yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui seusatu hal yang dilakukan oleh para sahabatnya dan beliau tidak melarangnya. Maka hukumnya sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah,
إذا أقر النبي صلى الله عليه وسلم أحداً على فعل عبادة، فإن كانت من هديه فهي مستحبة، وإن كانت من غير هديه لكن أقر عليها فهي من القسم الجائز
“jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Taqrir/penetapan dalam masalah ibadah dan merupakan pentunjuk/ajaran beliau (masalah agama)  maka hukumnya adalah mustahab (sunnah). Jika bukan merupakan petunjuk/ajaran beliau (masalah dunia) maka hukumnya adalah mubah.”[4]

Dan masalah Asi adalah masalah dunia bukan termasuk bentuk ibadah kepada Allah. Maka hukumnya adalah mubah, bukan WAJIB atau Sunnah sebagaimana pendapat mereka yang berlebih-lebihan dalam hal ini.
Taqrir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bukti bahwa agama Ini dibangun diatas kaidah kemashlahatan dan mencegah mudharat. Seandainya hal tersebut berbahaya tentu akan dilarang dan dicegah.
syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam risalahnya,
الدين مبني على المصالح
في جلبها و الدرء للقبائح

“Agama dibangun atas dasar  berbagai kemashlahatan
Mendatangkan mashlahat dan menolak berbagai keburukan”

Kemudian beliau menjelaskan,
ما أمر الله بشيئ, إلا فيه من المصالح ما لا يحيط به الوصف
“Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kecuali padanya terdapat berbagai mashlahat yang tidak bisa diketahui secara menyeluruh”[5]

Oleh karena itu seandainya ASI eksklusif berbahaya maka pasti dilarang dan dicegah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

ASI eksklusif dua tahun?
Pendapat ini jelas kurang tepat, karena perintah menyusui selama 2 tahun dalam Al-Quran tidak bersifat memaksa dan ini adalah perkara dunia yang mubah dan perkara yang lapang. Hal ini terdapat dalam firman allah Ta’ala,
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (Al-Baqarah : 233]
Jelas dzohir ayat bahwa hal ini adalah perkara yang lapang, tidak perlu dipaksa-paksa harus demikian, ASI eksklusif harus sekian bulan, apalagi membawa-bawa nama Islam untuk mendukung suatu program tertentu dan kepentingan tertentu.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini,
فدل ذلك على أن الرضاع سنتان للمطلقة وغير المطلقة، وهذا إذا أحب الوالدان ، أما إذا تراضيا أن يفطماه قبل الحولين فلا بأس بذلك ليسقى من لبن الحيوانات، لقوله تعالى: فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا [(233) سورة البقرة]. الفصال الفطام، فإن أرادا فصالاً يعني فطاماً، عن تراض منهما وتشاور فلا جناح عليهما إذا اتفقا الأبوان يعني الزوجان أن يفطماه على سنة أو سنة وأشهر أو لأقل أو لأقل لأسباب اقتضت ذلك فلا بأس. فإن لم يتفقا فإنه يرضع سنتين،

Hal tersebut menunjukkan bahwa menyusui itu dua tahun lamanya oleh wanita yang telah dicerai suaminya atau tidak dicerai. Hal ini jika kedua orang tua menyukainya. Adapun jika keduanya ridha untuk menyapihnya sebelum dua tahun maka hal ini tidak mengapa, misalnya memberi susu hewan berdasarkan firman Allah, ‘Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.”
Yang dimaksud dengan “fishaal” adalah menyapih, jika ingin “fihsaal” yaitu menyapih dengan kerelaan dan hasil musyawarah kedua orang tua maka tidak ada dosa bagi keduanya. jika telah bersepakat kedua orang tua yaitu suami-istri untuk menyapih ketika telah (berumur) satu tahun atau satu tahun sekian bulan, atau kurang dari (satu tahun) karena ada sebab-sebab teretntu yangmenuntut (seperti sakit, tidak keluar air susu, pent) maka tidak mengapa.
Jika kedua orang tua tidak bersepakat (misalnya ibunya tidak setuju disapih, pent) maka bayi tersebut tetap disusui selama dua tahun.[6]

ASI eksklusif 6 bulan
Karena ASI eksklusif adalah masalah dunia maka kita serahkan pada Ahlinya mengenai masalah ini, yaitu para peneliti, ahli gizi dan dokter. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أنتم أعلم بأمور دنياكم
“ Kalian lebih tahu urusan dunia kalian”[7]

Menurut penelitian para ahli dan peneliti Asi eksklusif sebaiknya 4 atau 6 bulan karena Alasan berikut.
- setelah usia enam bulan anak akan mulai tumbuh giginya, bayi diatas usia 6 bulan juga harus mulai dilatih untuk mengunyah. Kegiatan mengunyah ini, akan mengantarkannya kepada pembiasaan gerakan otot-otot mulutnya. Dengan otot-otot mulut yang terlatih ini, maka dia akan mengalami kemudahan untuk belajar berbicara. Sedangkan cita rasa yang dihantarkan oleh makanan-makanan tersebut akan mendorong sel-sel indra pengecapnya untuk mulai mempelajari perbedaan antara makanan satu dengan makanan lain dan mulai membaginya dalam kategori-kategori yang disusun rapi dalam otaknya.
- mulai pula melakukan tahap belajar duduk, lalu berdiri, lalu berjalan. Keempat aktifitas ini, memerlukan tulang yang kuat, energi yang tepat, tenaga yang besar dan koordinasi kerja organ-organ tubuh yang seimbang. Sehingga bayi juga perlu protein, baik protein hewani (seperti susu, keju, daging, telur, dll) ataupun protein nabati (seperti tempe, tahu, kacang-kacangan, dll) karena protein tersebut bisa membantu tubuh untuk membentuk sel-sel darah yang berguna agar kerja otak dan jantung menjadi maksimal.
-anak secara naluri mulai menaruh apa saja yang ia pegang di mulutnya, oelh karena itu kita harus benar-benar mengawasi (pengalaman penyusuan, anak kami pernah pegang cicak amti, itu juga langsung mau dimasukkan ke mulutnya)
-umur enam bulan enzim dan pencernaan bayi mulai berkembang dan matang

Bayi sudah ditahnik dengan kurma berarti sudah tidak ASI eksklusif lagi?
Perlu diketahui bahwa tahnik berbeda dengan makanan, jadi walaupun sudah masuk makanan selain ASI yaitu kurma pada tahnik, maka statusnya bukan seperti makanan biasa sehingga sudah tidak terhitung lagi ASI eksklusif sehingga konsekuensinya jika bayi tersebut laki-laki maka cara bersucinya dengan dibilas/dicuci (bayi laki-laki yang masih ASI eksklusif cara bersucinya dengan sekedar dipercik air).
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,
المراد بالطعام ما عدا اللبن الذي يرتضعه والتمر الذي يحنك به والعطل الذي يلعقه للمداواة وغيرها فكان المراد أنه لم يحصل له الاغتذاء بغير اللبن على الاستقلال
“Yang dimaksud dengan ‘makanan’ adalah yang selain susu yang ia menetek darinya, selain kurma yang ia ditahnik dengannya, dan selain madu yang ia disuapi untuk pengobatan dan yang selainnya. Yang dimaksud adalah bahwa tidak dihasilkan kekenyangan baginya selain dari susu (ASI) saja.”[8]
Jadi pendapat yang menyatakan tidak ada hukum ASI eksklusif dalam ajaran Islam karena sudah ditahnik denga kurma (selain ASI) juga tidak tepat yang benar bahwa hukumnya mubah dan merupakan taqrir/penetapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Demikian pembahasan dari kami. jika ada saran, masukan dan kritik yang bersifat membangun harap disampaikan kepada kami. Mungkin masih ada ilmu yang belum sampai kepada kami. semoga bermanfaat.

Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
2 Dzuhijjah 1433 H
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com


[1]  Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa-i dan telah di-shahih-kan oleh Al Hakim, takrij hadits Hasan lighairihi
[2] HR. Bukhari (no. 222, 5.468, 6.002, 6.355), Muslim (I/163-164), Nasa-i (I/157), Ibnu Majah (no. 523), Ahmad (VI/ 46)
[3] Riwayat Abu Dawud (no. 375), Ibnu Majah (no. 522), Ahmad (VI/ 339), Hadits ini telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim dan Dzahabi.
[5]Risaalah fiil Qowaaidil fiqhiyah hal. 41, Maktabah Adwa’us salaf
[6] Fatwa syaikh bin Baz, sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/9074
[7] HR. Muslim  no. 2363

[8] Fathul Baari 1/352, Syamilah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar